Kamis, 05 Januari 2012

Perilaku Pergerakan (Studi kasus: Ritual Mudik Lebaran)

Diposting oleh Power of Environtment di 07.19 0 komentar
Review Artikel
Tradisi pulang kampung (mudik) pada hari Lebaran, tampaknya sudah menjadi kohesi sosial yang amat kuat bagi sebagian besar masyarakat (perkotaan) di Indonesia. Memindahkaan jutaan manusia pada waktu bersamaan, tentu bukan pekerjaaan mudah. Ironisnya, kendati hajatan rutin ini terjadi setiap tahun, namun berbagai permasalahan yang mengiringi tidak pernah terselesaikan secara tuntas.  Kondisi ini terjadi karena pada hakekatnya setiap manusia melakukan pergerakan (trip) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (dalam konteks ini berkumpul bersama keluarga). Semakin jauh pergerakan yang dilakukan semakin tinggi peluangnya untuk memberikan kontribusi kemacetan.
Banyak faktor yang berpengaruh pada permasalahan transportasi saat perjalanan mudik, antara lain :
·  Keselamatan → seringkali kesalamatan menjadi prioritas terakhir setelah aksesibiltas dan mobilitas.
·         Minimnya keandalan moda transportasi public.
·         Tren maraknya penggunaan sepeda motor.
·         Minimnya akses informasi → jalur alternative titik kemacetan
·         Lemahnya low enforcement.
Penanggulangan problematika transportasi di kota biasanya masih berdasarkan pendekatan konvensional yaitu dengan memperbesar kapasitas jalan. Seperti melebarkan jalan atau membangun jalan baru. Jika cara ini ilakukan terus menerus akan mengakibatkan berkurangnya lahan yang iperuntukkan bagi guna lahan yang lain. Oleh karena itu perlu ada perencanaan transportasi perkotaan yang mampu untuk mengelola kebutuhan manusia akan transportasi. Salah satu solusi permasalahan transportasi yang  mempengaruhi perilaku pelaku pergerakan agar mau/mampu mengelola kebutuhannya terhadap transportasi adalah Manajemen Kebutuhan Transportasi (MKT).
Produk dari MKT adalah suatu kebijakan yang dapat dijaikan alternative penanggulangan masalah yaitu kebijakan pergeseran lokasi tujuan yang dapat diaplikasikan saat musim mudik:
·         Kebijakan Pergeseran Waktu
Misalnya , waktu mudik mobil / angkutan beroda  atau lebih paa jam malam, sedangkan untuk kendaraan pada pagi sampai sore hari. Sehingga ada perberbedaan dengan waktu  mudik sehingga tidak dilakukan bersamaan yang mengakibatkan terjadinya waktu puncak.
·         Kebijakan Pergeseran Moda Pergerakan
Misalnya  dengan mengganti pemakaian kendaraan pribadi ke tujuan mudik dengan bus atau alat transportasin yang disediakan pemerintah .
Dengan memberlakukan beberapa kebijakan tersebut di atas diharapkan para pelaku pergerakan muik akan terbiasa melakukan pergerakan sesuai dengan waktu, moda, dan pemilihan lokasi tujuan yang tepat agar tidak terjadi lagi kemacetan lalu lintas. 

Main MAP Penghijauan Kota Semarang

Diposting oleh Power of Environtment di 07.12 0 komentar

Pengelolaan Sumberdaya Air Bersih Kota Boyolali

Diposting oleh Power of Environtment di 07.02 0 komentar
PENDAHULUAN
Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari, salah satunya kebutuhan air minum. Air termasuk sumber aya alam yang dapat diperbaharui, meskipun demikian dalam penggunaannya diperlukan pengelolaan guna mencegah kelangkaan air.  Dewasa ini, kebutuhan air bersih terus meningkat stiap tahunnya. Hal ini ipengaruhi oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk dan life style masyarakat di suatu kota, sehingga terjadi persaingan kepentingan antara pemenuhan kebutuhan air untuk kebutuhan primer (misalnya air digunakan memasak dan air minum)dan sekuder (misalnya air digunakan untuk mencuci kendaraan).
Potensi sumber mata air yang belum terkelola dengan baik diambil sebagai suatu permasalahan karena potensi sumber mata air di Kota Boyolali berasal dari Sungai Gandul. Dengan topografi yang sedemikian rupa membuat Kota Boyolali sebagai daerah resapan air atau catchment area yang akan mempengaruhi koefisien run in maupun run off. Kebutuhan air bersih di Kota Boyolali sebagian besar belum terpenuhi. Dengan peningkatan jumlah lahan terbangun dan juga peningkatan jumlah penduduk dikhawatirkan ketersediaan air di Kota Boyolali akan berkurang. Oleh karena itu diupayakan dalam pengelolaan air bersih di Kota Boyolali harus memperhatikan aspek-aspek ekologis dan berkelanjutan sehingga air bersih yang ada tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada masa kini tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di masa yang akan datang.

PERMASALAHAN AIR MINUM
1.     Kebocoran Sistem Jaringan Air Bersih
Sistem penyediaan air bersih di Kota boyolali menggunakan pipa transmisi yaitu pipa yang mengalirkan air dari sumber air menuju instalasi pengolahan air/reservoir distribusi. Dilihat dari pengukuran, debit produksi air dan jumlah air yang didistribusikan terdapat selisih yang cukup signifikan. Jaringan pipa pelayanan air bersih di kota boyolali berdiameter kurang dari 150mm. Sedangkan pompa distribusi yang terpasang pada sistem penyediaan air bersih untuk skala Kota Boyolali sebanyak 20 unit pompa. Apabila dilihat secara visual di lapangan, kondisi pipa-pipa pada jaringan air bersih masih dalam kondisi yang cukup baik. Hal ini berlawanan dengan masih tingginya prosentase air yang tidak tercatat pada jaringan sistem air bersih sehingga menunjukkan adanya kebocoran pipa dan diperlukan rehabilitasi pada sistem distribusi air bersih terutama untuk pipa yang sudah cukup tua. Angka air yang tidak tercatat pada Kota Boyolali masih cukup tinggi sekitar 36%.

2.     Air Kotor
Keadaan topografi Kota Boyolali yang berbukit-bukit dan terdapat lembah-lembah dengan beberapa sungai yang membelah Kota Boyolali maka sangat potensial untuk sistem drainase.  Namun demikian perlu dipikirkan pula adanya saluaran terbuka sebagai penyalur utama terutama ditempat-tempat umum seperti terminal dan pasar.  Untuk itu, guna memperlancar aliran air kotor diambil beberapa langkah kebijaksanaan yaitu:
·  Diadakan perbaikan pada saluran yang sudah ada, yaitu dengan memperluas dan memperdalam saluran.
·      Meningkatkan kualitas saluran dengan perkerasan tepian saluran
·      Merencanakan dan membuat saluran-saluran baru terutama pada kegiatan kota yang belum mempunyai saluran pembuangan
·      Secara bertahap mengusahakan adanya pemisah dari macam pembuangan air kotor kota (limbah rumah tangga, air hujan dan limbah industri)
·      Mengusahakan adanya pembuangan dengan sistem septictank pada rumah tangga
Dengan sistem ini, diharapkan bisa dicapai efisiensi dan pengamanan kesehatan yang maksimal.

3.     Krisis  Air
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih kota boyolali, saat ini PDAM memanfaatkan air dari Sungai Gandul dengan kapasitas debit air 25 liter/detik. Seperti telah diperhitungkan dalam analisa hidrografi dan air bersih, maka kapasitas PAM adalah 60x 60x 24x 0,0025 m3= 215m3/hari. Menurut perhitungan, kebutuhan air bersih Kota Boyolali tahun 2008 mencapai 788,760 m3/hari. Dengan demikian kapasitas air yang ada sekarang tidak dapat memenuhi kebutuhan air bersih, sehingga perlu diadakan supply air bersih.
Menurut data dari PAM boyolali, direncanakan akan memanfaatkan sumber air tlatar di kelurahan Kebunbimo dengan kapasitas 345,6m3/hari atau ±40 liter/detik sehingga total kapasitas yang akan disediakan sebanyak 561,6 m3/hari. Setelah diadakan pensuplaian air melalui sumber air tlatar, maka kekurangan air bersih menurut perhitungan adalah 788,76m3 (kebutuhan air bersih Kota Boyolali) – 561,6 (total supply air bersih) = 227,16 m3/hari. Jika diasumsikan bahwa tidak semua penuduk Kota Boyolali memakai air bersih ari PDAM, tetapi ada yang menggunakan sumur, maka kapasitas PDAm yang tersedia suah dapat mencukupi kebutuhan ari bersih Kota Boyolali.

4.     Berkurangnya Daerah Resapan Air Akibat Alih Fungsi Lahan Terbuka Menjadi Lahan Terbangun
Pesatnya pembangunan di Kota Boyolali seringkali tidak memperhatikan fungsi lahan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Hal ini mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada berkurangnya lahan resapan air. Pemanfaatan lahan terbangun di Kota Boyolali dari tahun 2004-2008 terus meningkat, dengan rata-rata peningkatan lahan terbangun sebesar 127 Ha/tahun.                    
Seperti yang telah diketahui, sumber air di Kota Boyolali didapat dari sungai gandul yang debit airnya juga dipengaruhi oleh curah hujan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mengantisipasi peningkatan lahan terbangun adalah dengan pengawasan pada lahan yang termasuk kawasan konservasi tidak boleh didirikan bangunan diatasnya.

5.     Konflik Akibat Persaingan Antar Penyuplai Air
Meningkatnya pendapatan masyarakat dan pertambahan jumlah penuduk secara tidak langsung menimbulkan suatu persaingan antara sektor publik dan privat yang berlomba-lomba dalam mencari konsumen. Untuk menarik konsumen tersebut masing-masing sektor menerapkan kebijakan yang berbeda – beda dengan tujuan mencari keuntungan. Persaingan tersebut menimbulkan dampak yang berpengaruh pada pelayanan terhadap konsumen, di satu sisi dapat meningkatkan pelayanan terhadap konsumen sehingga  konsumen tertarik dengan kebijakan tersebut.Di satu sisi menimbulkan kerugian terhadap masyarakat karena biaya yang ikeluarkan semakin mahal, karena pengruh persaingan tersebut.

Teori Ekosentrisme - Penghijauan Hutan Mutis, Timau

Diposting oleh Power of Environtment di 06.59 0 komentar
Penghijauan dalam arti luas adalah “segala daya untuk memulihkan, memelihara dan meningkatkan kondisi lahan agar dapat berproduksi dan berfungsi secara optimal, baik sebagai pengatur tata air atau pelindung lngkungan.” (Irwan, Djamal. Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. 2003. Hal.165). Namun sebagian besar masyarakat beranggapan, bahwa penghijauan cenderung pada penanaman pohon pada hutan gundul (reboisasi). Dalam hal ini, penghijauan perkotaan merupakan keiatan pengisian ruang terbuka di perkotaan.
Banyak fakta menunjukkan bahwa banyak bangunan yang dibangun di lahan hijau (mis. Lahan pertanian/sawah dibangun menjadi perumahan). Padahal tumbuhan (yang berdaun hijau) merupakan produsen utama dalam memproduksi O2, agar kadar udara yang dihirup untuk bernafas tetap stabil. Seringkali lahan hijau perkotaan menjadi korban karena kebutuhan kota akan wilayah yang tak mampu dipenuhi oleh luas wilayah tersebut yang kecil dengan jumlah penduduk yang cukup padat.
Untuk mengatasi masalah pencemaran udara di kota, maka perlu diadakan penghijauan perkotaan yang juga disesuaikan dengan kondisi suatu kota/wilayah. Penghijauan sangat diperlukan, karena merupakan sebuah keharusan untuk kenyamanan penghuni wilayah tersebut. Adapun tujuan dari penghijauan diantaranya :
·      Menciptakan  paru-paru kota yang tidak hanya ada bangunan megah, tapi ada elemen hijau yang membuat hawa lingkungan menjadi segar, sejuk, dan nyaman.
·      Menciptakan keindahan (estetika), dengan adanya unsur penghijauan yang direncanakan dengan baik dan menyeluruh akan menambah keindahan kota.
Pada kasus Hutan Mutis-Timau ini, hutan yang seharusnya berfungsi sebagaimana telah dijelaskan di atas, justru terancam punah karena penebangan liar dan kebakaran hutan yang tak terkendali. Hutan ini mengalami degradasi yang parah, sehingga mengakibatkan kekeringan pada darah di sekitarnya. Padahal, Hutan Mutis-Timau ini berfungsi sebagai cagar alam yang secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis saling terkait satu sama lain dalam sebuah komunitas. Keterkaitan inilah yag biasa disebut dengan ekosentrisme dengan Deep Ecology, dimana etika lingkungan yang berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup seperti Hutan Mutis-Timus yang terancam pubah.
Untuk mengatasi ancaman kepunahan hutan di Kab Kupang (Hutan Mutis-Timus), para konsultan lingkungan menggunakan pendekatan ekosentris. Dalam hutan tentu banyak sekali sumber daya alam yang justru bernilai bagi kehidupan manusia. Artinya, alam dan kekayaan yang terkndung dala hutan, semata-mata tidak hanya dilihat dari fungsi ekonomisnya (seperti penebangan liar). Alam dan kehidupan mempunyai nilai lebih luas dari sekedar nilai ekonomis.
Program penghijauan di kawasan Hutan mutis-Timau diprioritaskan pada “bagaimana mengatasi sebab utama yang paling dominan dalam ancaman punahnya hutan”, bukan sekedar program jangka pendek. Untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah Kabupaten Kupang,para ahli lingkungan, dan peranan masyarakat Kupang. Dengan demikian Deep Ecology dalam teori ekosentrisme merupakan sebuah altenatif, bagaimana menyelamatkan linkungan sekitar kita yang terancam punah.

Lingkungan Kultural dan Biotik

Diposting oleh Power of Environtment di 06.57 0 komentar
                Pada dasarnya lingkungan kultural sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan pemanfaatan sumber daya alam. Peningkatan jumlah penduduk di tiap-tiap negara secara otomatis juga berpengaruh terhadap peningkatan pemenuhan kebutuhan manusia (sumber daya alam). Hal ini terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh manusia. Misalnya pemenuhan kebtuhan air bersih, bagaimana pengelolaan (distribusi, kontroling dan evaluasi, dll) agar sumber daya yang telah disediakan oleh alam dapat bersifat sustainable.
                Dengan pertumbuhan penuduk yang terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi, tentu juga mempengaruhi pengelolaan SDAnya. Dibanding masyarakat yang primitive, masyarakat perkotaan sekarang cenerung hanya bisa menggunakan tanpa peduli kelestarian alam yang bisa saja rusak karena tanpa perhitungan. Misalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal, maka kawasan konservasi dijadikan kawasan permukiman. Sedangkan masyarakat primitif, hidup nomaden dan untuk memenuhi kebutuhan pangan, mereka hidup dengan bertani. Artinya, ketika penguasaan alat meningkat maka kerusakan lingkungan juga ikut meningkat.
                Perubahan budaya masyarakat tadi justru berdampak buruk pada kelestarian alam. Untuk itu diperlukan pengendalian agar tetap terjaga keseimbangan ekosistemnya. Apalagi saat ini sudah banyak industri yang dibangun yang seringkali membuang limbah tanpa ada pengolahan. Pembuangan limbah sembarangan tanpa ada netralisir, dapat mencemari lingkungan sekitarnya dan dapat merusak rantai kehidupan.
                Upaya untuk melestarikan sumber daya alam (lingkungan biotik) dapat dilakukan dengan preservasi dan konservasi. Preservasi merupakan upaya pemeliharaan apa yang ada sesuai kebutuhan makhluk hidup seperti kondisi lingkungan aslinya (dilakukan dengan tidak ada pemindahan/ transfer ke habitat lainnya). Sedangkan yang dimaksud dengan konservasi adalah upaya perlindungan lingkungan termasuk makhluk hidup di dalamnya (ada kemungkinan upaya karantina, pemindahan flora/fauna pada lingkungan baru).
                Berkaitan dengan teori etika lingkungan yaitu ekosentrisme, dimana pemusatan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Preservasi bertujuan untuk menjaga keseimbangna ekosistem, sedangkan konservasi lebih berfokus pada pembangunan berkelanjutan yang berkonsep eco-development. Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan, kestabilan ekosistem merupakan penentu utama di samping sektor basis di masing-masing wilayah. kestabilan ekosistem iperlukan untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam yang nantinya diolah oleh manusia untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
                Preservasi tidak hanya berfungsi sebagai pelestarian lingkungan, tetapi juga dapat menghasilkan investasi bagi wilayah tersebut. Misalnya Taman Mini Nasional, dari nilai ekonomi dapat isajikan sebagai tempat wisata, sekaligus sebagai upaya pelestarian flora dan fauna yang langka (nilai lingkungan), dan sebagai tempat wisata bernuansa pendidikan dengan nama-nama latin untuk setiap flora yang disajikan (nilai sosial-budaya), dan masih banyak lagi.
                Meskipun ada banyak upaya untuk melestarikan lingkungan, tetapi ada halangan yang terkadang sulit untuk diatasi. Masalah yang paling krusial saat ini adalah masalah ekonomi dan sosial, hal ini terkait dengan perilaku manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah didapatkan. Undang-undang yang mengatur sumber daya alam memang sudah dibuat denga baik, namun kurang tegasnya pemerintah dalam memberi sanksi terhadap pelanggaran masih sering terjadi. Maraknya konversi lahan pertanian menjadi lahan permukiman masih terus berlanjut hingga sekarang.
                Upaya pengendalian ini dapat berjalan apabila ada korrdinasi yang baik dari pemerintah, developer, dan masyarakat. Pemerintah berperan untuk mencetuskan peraturan yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan sumber daya alam. Developer adalah investor dalam rangka pembangunan di suatu wilayah, yang tentu saja harus verkonsep lingkungan/eco-development. Dan masyarakat di sini merupakan penikmat sekaligus mengontrol pembangunan yang sedang berjalan.

Eksisting Hutan Kota di Mijen

Diposting oleh Power of Environtment di 06.55 0 komentar
Secara administratif, Kecamatan Mijen terdiri dari 13 kelurahan, seluas 6.213,266 ha. Sedangkan faktor utama yang membentuk karakteristik ruang Kecamatan Mijen adalah topografi yang beragam sehingga membentuk kota dengan ciri khas perbukitan. Pemanfaatan ruang terbesar di Kecamatan Mijen didominasi oleh perumahan dan pertanian. Hal ini membuktikan bahwa perkembangan penduduk membutuhkan ketersediaan lahan atau ruang untuk bermukim, sehingga kemungkinan besar untuk tahun-tahun selanjutnya jumlah lahan yang dikonversi untuk dapat dibangun perumahan akan bertambah. Selain itu dengan pesatnya kemajuan industri di daerah ini akan diperkirakan semakin meluas keberadaan bangunannya seperti yang sudah terjadi di Kelurahan Kedungpane.
Salah satu jenis hutan yang terus menipis ironisnya justru hutan lindung dan hutan produksi, seprti hutan karet di kawasan BSB Semarang (Kecamatan Mijen), yang menjalankan berbagai fungsi dari hidrolisis, sebagai penjaga keteraturan air tanah, sampai klimatologis, untuk mengatur iklim dan menanggulangi pencemaran udara. Sebagai paru-paru kota, manfaat hutan lindung di suatu kota dirasakan oleh lingkungan sekitarnya.
Saat ini paradigma pengelolaan hutan untuk pemanfaatan intensif guna mendorong pertumbuhan ekonomi kota. Kawasan hutan yang dikategorikan menjadi hutan produksi karet berubah menjadi kawasan yang ditetapkan untuk dialihfungsikan menjadi pemanfaatan lain (kawasan permukiman). Pemkot mengalokasikan sejumlah konsesi yang luas kepada perusahaan-perusahaan swasta. Pada kawasan yang dialihfungsikan, “deforestasi terencana” diperbolehkan untuk membuka dan membebaskan kawasan hutan bagi tujuan pemanfaatan lain.
Pengalihan fungsi hutan karet di kawasan BSB, yang rencananya akan dijadikan sebagai kota satelit tersebut membawa dampak lingkungan yang buruk. Banjir di daerah Krapyak dan sekitarnya kerapkali terjadi, karena berkurangnya daerah resapan air, sehingga aliran air hujan yang tidak terserap tanah turun ke daerah yang lebih rendah. Kawasan BSB dinilai cukup meresahkan, dengan luas lebih dari 30ha, dan rencana untuk dijadikan suatu pusat kota yang baru, serta lahan yang digunakan adalah hasil pembebasan sebagian hutan kota Semarang. Berikut gambaran kawasan BSB yang akan dibangun menjadi pusat kota baru, yaitu Kota Satelit.
Akibat perubahan lahan hutan karet menjadi kawasan perumahan BSB, Kecamatan Mijen memiliki potensi banjir karena wilayah BSB memperbesar run-off di daerah tersebut. Hal ini berdampak pada jumlah air hujan yang mengalir ke wilayah Ngaliyan menjadi bertambah dan membuat daerah itu menjadi banjir, karena tidak ada kawasan konservasi.




Masalah Lingkungan Akibat Pembangunan Kawasan UNDIP

Diposting oleh Power of Environtment di 06.51 1 komentar
Kelurahan Tembalang adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Tembalang yang bercorak perkotaan dengan aktivitas utamanya adalah pendidikan. Kelurahan Tembalang memiliki karakteristik topografi 15-40% yang berarti kelurahan ini merupakan dataran tinggi. Dengan karakteristik tersebut, kelurahan ini memiliki kesulitan teknis dan daya dukung untuk area terbangun, dan menjadi kawasan konservasi karena kelerengannya yang curam. Kelurahan Tembalang memiliki berpotensi sebagai kawasan pendidikan yang mampu menjadi katalisator kawasan..
Keberadaan Kampus Universitas diponegoro yang berada di daerah Tembalang, seakan mampu menjadi tarikan/bangkitan yang tak terelakkan dalam waktu sekejap. Dari yang dulu merupakan hutan belantara, ibarat orang diberi tanahnya saja tidak mau, namun sekarang, justru banyak masyarakat yang berebut lahan di daerah tersebut, sekalipun dengan harga mahal ± 2.000.000/m2. Pembangunan kampus UNDIP membawa dampak yang besar terhadap ativitas dan kehidupan masyarakat wilayah sekitarnya. Hal ini terlihat dengan adanya perbedaan antara corak masyarakat kampung, dimana bangunan rumahnya masih terbuat dari papan kayu dan ‘gedheg’  dengan masyarakat kota yang berebut lahan untuk mendirikan bangunan kos-kosan dengan gaya modern dan minimalis. Daya pikat Kampus UNDIP memliki kekuatan magnet yang kuat untuk menarik pembangunan besar-besaran.
Pembangunan yang berlangsung secara sporadis dan seringkali kurang memperhatikan aspek lingkungan di Kawasan UNDIP, membawa dampak buruk terhadap lingungan yang akhirnya terjadi setiap tahunnya. Trend peningkatan jumlah penduduk tiap tahun ditambah dengan meningkatnya jumlah mahasiswa UNDIP (direncanakan mulai tahun ajaran 2010/2011, UNDIP Plebuaran akan berativitas di Tembalang), menjadi pengaruh utama dalam perkembangan kawasan kampus dan sekitarnya. Ruang-ruang yang dibangun di sekitar kawasan UNDIP slah satunya berfungsi untuk menunjang aktivitas pendidikan yang berlangsung. Dari hal tersebut, kecenderungan yang terjadi adalah menipisnya proporsi ruang terbuka sebagai dampak meningkatnya jumlah ruang terbangun. Dengan meningkatnya pembangunan, maka secara otomatis sebagian besar vegetasi yang berfungsi sebagai daerah resapan air juga akan tertutup oleh tanaman ‘semen’. Tidak berhenti sampai hilangnya resapan air saja, tetapi kenaikan suhu iklim mikro yang menyebabkan para pejalan kakimenjadi tidak dapa menikmati pedestrian ways, yang akhirnya pedestrian ini justru digunakan para PKL untuk berdagang. Sementara itu, para pejalan kaki akan beralih pada penggunaan kendaran bermotor untuk berpergian walaupun dalam jarak terdekat. Dari permasalahan-permasalahan di atas, berujung pada suatu fenomena yang biasa kita sebut dengan “global warming”.
Global warming adalah fenomena perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya peningkatan suhu rata-rata global yang disebabkan oleh peningkatan emisi karbon. Di Kawasan UNDIP, terlihat jelas permasalahan tersebut, dimulai dari aspek lingkungan dan social, dimana letak pembangunan rumah yang tidak teratur, sehingga lingkungan hunian menjadi padat dan tidak memperhatikan apakah ruang terbuka hijau yang tersedia sudah mencukupi atau belum. Jika dilihat dari aspek ekonomi, tergambarkan bahwa telah terjadi perubahan fungsi perumahan sebagai rumah sewa (kos) dalam bentuk bangunan yang berbeda dengan bentuk rumah secara umum. Artinya, semakin banyak pula kebutuhan air bersih, sanitasi, drainase, dan penyediaan infrastruktur lainnya. Apabila kebutuhan akan sarana prasarana tersebut tidak dapat terpenuhi, maka akan berdampak pada rendahnya kulaitas hidup masyarakat dan degradasi lingkungan terutam apada kawasan permukiman sekitar.
Untuk menghindari berkembangnya hal ini, diperlukan tindakan preventif yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan sehingga orientasi pembangunan pun menekankan pada pentingnya perencanaan baik secara desain maupun teknis yang mengedepankan penggunaan energi alam serta teknologi ramah lingkungan demi mengurangi emisi gas ke atmosfer agar terciptanya lingkungan yang berkelanjutan dengan tetap memperhitungkan ketersediaan sumberdaya, termasuk dari kelayakan dari segi finansial.

Problem Lingkungan Kawasan Pantai Semarang

Diposting oleh Power of Environtment di 06.42 0 komentar
Problem Lingkungan Kawasan Pantai Semarang


A.       Pasang Surut dan Banjir
Pasang surut (pasut) air laut adalah fluktuasi muka air laut, karena adanya gaya tarik benda-benda di langit (terutma matahari dan bulan) terhadap masa air laut di bumi. Pasang surut di perairan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi: (1) Pasang surut tunggal mendominasi perairan Indonesia Sebelah Barat, dan (2) Pasang surut ganda tunggal mendominasi perairan Indonesia Sebelah Timur. Perbedaan pasut tertinggi dan terendah yang optimal berkisar antara ( 1 – 3 ) m.
Pasut pada kawasan pantai Kota Semarang, menjadi sangat istimewa sehubungan dengan masalah banjir ROB (Dari bahasa Jawa, yang artinya luapan / banjir), yaitu banjir yang terjadi saat air laut pasang. Pengamatan pasut dilakukan oleh PT. Pelabuhan Indonesia III. Hasil pasut pada tahun 1998, 1998, dan 2000 disajikan pada Tabel 1. di bawah ini.
Tabel 1.Data Pengamatan Pasut Tahun 1998 – 2000
No
Nama Elevasi
Pengamatan
Nop. 1998 (cm)
Pengamatan
Des. 1999 (cm)
Pengamatan
Nop. 2000 (cm)
1.
High-High Wter Level  ( HHWL )
126,40
155,43
145,07
2.
High Water Level  ( HWL )
120,40
143,37
141,43
3.
Mean Sea Level  ( MSL )
60,00
83,37
81,63
4.
Low Water Level   ( LWL )
0,00
23,37
21,63
5.
Low Low Water Level  ( LLWL )
- 6,40
13,80
15,47
Sumber: PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III, Tahun 2000.

Dari Tabel 1 diatas kita mendapat penjelasan bahwa dalam kurun waktu 1 (satu) tahun (1998/1999) terjadi perubahan Elevasi MSL sebesar 23,37 cm, dan terjadi penurunan kecil 1,94 cm. Kondisi ini diduga karena pengaruh penurunan tanah di lokasi pengamatan. Kemudian antara tahun 1999/2000, efek penurunan ini diantisipasi dengan Bench Mark (BM) baru yang berpondasi 100 m.
Di kawasan pantai Semarang, selain rob juga terjadi banjir kiriman akibat air hujan dan banjir gabungan rob dan genangan air hujan. Dari berbagai studi yang pernah dilakukan, dapat diduga bahwa ROB terjadi akibat sebagai berikut: (1) perubahan penggunan lahan di kawasan pantai (reklamasi lahan sawah, rawa dan tambak menjadi kawasan permukiman, kawasan Industri, dan penggunaan lainnya), (2) Penurunan muka tanah (land Subsidence), dan (3) Naiknya muka air laut rata-rata sebagai akibat efek pemanasan global.

B.       Amblesan Tanah (Land Subsidence)
Dari hasil penyelidikan Dit. Geologi dan Tata Lingkungan dapat diketahui bahwa amblesan yang terjadi berkisar antara 0,02 - 0,25 m/th. Secara umum wilayah pantai Kota Semarang dapat dikelompokkan menjadi 4(empat) zona amblesan tanah, yaitu: (1)  Zona amblesan > 0,2 m/th; (3) Zona amblesan = 0,10 – 0,15 m/th; (2) Zona amblesan 0,15 – 0,20 m/th; (4) Zona amblesan < 0,05 – 0,10 m/th. Amblesan tanah yang cukup besar terjadi di sekitar Pelabuhan Tanjung Mas, Pondok Hasanudin hingga Stasiun Tawang, yaitu sebesar 0,2 m/th.

C.       Akrasi pantai.
Pantai merupakan pertemuan yang dinamis antara daratan, air laut dan udara. Bentuk pantai senantiasa berubah, sebagai respon terhadap aktivitas alam dan aktivitas manusia. Pantai dapat tumbuh (proses akrasi) dan berkurang (proses abrasi). Pada kawasan pantai Kota Semarang, bentukan akrasi  dapat ditemukan pada bagian Timur Kawasan Pantai Kota Semarang. Secara umum diketahui bahwa pantai Kota Semarang telah mengalami pertumbuhan yang cukup besar, yaitu mulai tahun 1847 – 1991. Pertumbuhan pantai yang tercatat antara tahun 1847 – 1991 sebesar 581 m, sedangkan antara tahun 1940 – 1991 terjadi penambahan lagi sebesar 303 m. Jadi selama ini telah terjadi pertumbuhan garis pantai sepanjang 884 m selama 144 tahun atau akrasi rata-rata 6,13 m/tahun

D.      Abrasi pantai.
Pada umumnya abrasi pantai disebabkan oleh: (1) Adanya ombak yang kuat yang membentuk sudut tertentu, (2) Garis pantai yang tidak lurus, sehingga arus dan ombak yang menabrak pantai menjadi arus konvergen ayau divergen, (3) Jenis tanah pantai yang tidak kuat, mudak terkena abrsai, (4) Tidak mempunyai penghalang atau pemecah arus ombak, seperti pohon bakau, karang, bangunan fisik,   jalur hijau   sebagai  pemecah angin  di darat,    (5) Gangguan oleh manusia yang
merusak lingkungan di pantai. Abrasi di Kelurahan Mangunharjo Kecamatan Tugu bertaraf berat, hal ini terkait dengan jenis tanah yang tidak dispers atau nilai dispers rendah yang selalu terendam air (nilai TDS di Sungai Keceng < 25 ppm dan Sungai Mangunharjo 231 ppm),  sehingga struktur tanah tidak terbentuk.
Hal ini yang mendukung abrasi lebih kuat dibanding sedimentasi pantai dan muara sungai. Proses abrasi terjadi juga di daerah sekitar pantai Tanah Mas.

E.       Intrusi air laut.
Berdasarkan hasil “Studi Evaluasi Instrusi Air Laut di Daerah Kota Semarang Tahun 1997’, diketahui bahwa pada kedalam tanah kurang dari 5 m telah banyak tempat di daerah pantai Kota Semarang air tanahnya asin hingga payau. Adapun keterangannya sebagai berikut:
·     Pada kedalaman tanah: 5 – 17,5 m, air tanah asin sudah  mencapai Simpang Lima Semarang (Pusat Kota Semarang), sedangkan air tanah payau sudah mencapai wilayah Kecamatan Semarang Selatan.
·        Pada kedalaman tanah 50 – 75 m, air tanah asin mencapai sebagian wilayah Kecamatan Semarang Barat, dan air tanah payau mencapai sebagian besar wilayah Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Tengah.
·      Pada kedalaman tanah 100 – 125 m, air tanah asin mencapai Kecamatan Tugu,  Semarang Utara, Semarang Timur, dan Genuk. Sedangkan air tanah payau mencapai sebagian wilayah Kecamatan Semarang Barat.
·          
F.        Sedimentasi.
Menurut hasil penelitian SSUDP tahun 1997, ternya sekitar 39% dari luasan wilayah Kota Semarang berpotensi menimbulkan erosi dari kelas paling ringan (5 m3/Ha/th) hingga kelas erosi yang paling berat (400 m3/Ha/th). Akibat erosi di bagian atas tersebut menyebabkan sedimentasi di wilayah pantai Kota Semarang. Dampak langsung dari hal ini adalah gangguan terhadap fungsi pelabuhan, pengdangkalan alur sungai serta mempanjang waktu genangan banjir. Kondisi sedimen yang diangkut melalui beberapa sungai menuju Wilayah Pantai Kota Semarang, terinci dalam Tabel 2. di bawah ini.

Tabel 2. Kondisi Sedimen Pada Beberapa Sungai Yang Menuju Wilayah Pantai Semarang
No.
Sungai Pemasok Sedimen
Total Angkutan Sedimen (1000 m3/th)
Angkutan Sedimen Spesifik
M3/Km2/th
1.
Kali Babon
109,70
1.425,00
2.
Kali Banjir Kanal Timur
18,30
618,00
3.
Kali Silandak
22,30
2.624,00
4.
Kali Sringin
29,50
929,00
5.
Kali Banjir Kanal Barat
240,20
1.177,00
6
Kali Blorong
171,60
1.093,00
T o t a l
591,60
7866,00
Sumber: SSUDP Midterm Action Plan, 1997



Benteng Willem II

Diposting oleh Power of Environtment di 04.12 0 komentar
Benteng Willem II yang berlokasi di Ungaran, Kabupaten Semarang merupakan benteng yang telah berusia lima puluh tahun. Dilihat dari kondisi fisiknya, benteng ini kurang dilestarikan. Bangunan yang sudah mulai retak, cat bangunan yang luntur dimakan usia dan lingkungan yang tidak mendukung menjadi penyebab wisatawan enggan untuk berwisata ke benteng ini, bahkan banyak yang tidak tahu tentang keberadaan benteng tersebut.
Selama puluhan tahun benteng ini dimanfaatkan sebagai asrama keluarga anggota Polri. Baru tahun 2006. Saat ini Pemkab Semarang berencana merevitalisasi bangunan itu agar dijadikan museum untuk pariwisata. Namun perevitalisasian ini tidak semudah dibayangkan karena di sana terdapat kehidupan para wira polisi bertempat tinggal. Pemerintah juga tidak hanya menanggung biaya revitalisasi saja tetapi juga penyediaan perumahan bagi wira polisi yang sudah lama bertempat tinggal tersebut.  Oleh sebab itulah pemerintah sampai sekarang tidak melakukan tindakan apapun kecuali hanya pihak LSM saja yang mau bertindak sebatas usaha menjaga kebersihan benteng.
Kondisi Benteng Willem II Ungaran yang memprihatinkan merupakan permasalahan sebagai salah satu harritage asset di Kabupaten Semarang. Padahal jika ditilik dari unsur kesejerahan, benteng tersebut memiliki nilai nominal serta estetika yang tinggi. Sayangnya dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut ditambah dengan ketidakjelasan pemilik lahan benteng menjadi salah satu penyebab ketidakpedulian masyarakat serta pemerintah kabupaten setempat.
Benteng Williem II terletak di Ungaran (terkenal dengan nama Benteng Ungaran/ Diponegoro) persis di pinggir Jalan Semarang – Solo/Yogya, tepatnya di depan DPRD Kabupaten Semarang. Alamat lengkap Benteng Willem II ini berada di Jalan Diponegoro Nomor 148, Dusun Legoksari, Kelurahan Ungaran, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Benteng ini dibangun pada tahun 1740 – 1742 saat terjadi Perang Cina, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pernah dirawat di sini karena serangan pasukan Surakarta pada tahun 1742. Benteng Willem II ini telah mengalami beberapa kali renovasi.


Pada tahun 1826 benteng ini mendapat serangan pasukan Diponegoro dari arah Rembang dan hampir jatuh ke tangan pasukan Kyai Mojo setelah dikepung selama 2 minggu. Benteng tersebut pada Agustus 1830 digunakan sebagai tempat menahan Pangeran Diponegoro selama 3 hari yang ditangkap di Magelang sebelum dibawa menumpang Kapal Pollux di Kota Semarang untuk diadili ke Batavia. Saat ini digunakan sebagai markas polisi sebelum ditinggalkan pada Maret 2009. Sebenarnya usia benteng itu lebih tua dibandingkan Benteng Willem I di Ambarawa yang diperkirakan dibangun tahun 1800-an.Pada tahun 1945, benteng ini digunakan untuk menahan para kriminal  oelh pemerintah, yang dirilis pada bulan September 1945. Selanjutnya, pada 1948 -1950 benteng ini diduduki oleh Belanda untuk Polisi Barak dan penjara militer untuk orang Indonesia. Namun setelah Belanda mangkir kembali dari Indonesia, pada tahun 1951  sampai dengan sekarang benteng ini tercatat sebagai aset POLRI, tetapi penduduknya pindah.  Dalam waktu dekat ini,  akan direvitalisasi oleh Masyarakat Peduli Pusaka (P2CB Ratu Sima) untuk seni pertunjukan dan budaya.
Untuk nama kota Ungaran sendiri, pada awalnya kota ini disebut sebagai Oenarang, dimana pertumbuhan Kota sangat terpengaruh dengan adanya benteng Ungaran tersebut. Kota Ungaran juga pernah menjadi kota persinggahan penahanan pangeran Diponegoro yang akan di asingkan bersama dengan keluarganya.

 

Power of Environment Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review